Kayakinan Sejati
Jalanan berdebu, gersang
akibat terik yang akhir-akhir ini melahap tiap-tiap rasa nyaman yang biasa aku
rasa menjelang senja. Udara yang pengap memaksaku beradaptasi lebih dari
biasanya akibat fenomena kabut asap yang merajalela di negeri yang tak pernah
habis masa kemaraunya.
Aku menghabiskan senja
dengan memandangi kejenuhannya dari sebuah bangku taman yang biasa kudatangi saat
hati ini sedang merasa gelisah. Aku duduk, memulai untuk mencerna apa yang
selalu berputar dan bermaain-main didalam otakku yang begitu menggangu
pikiranku.
Kadang terasa asing
semuanya, kehidupan yang monoton dan itu-itu saja kerap menjadi gejolak dalam
benakku.
Aku memandangi jalanan yang
kerontang bersama angin yang sayup-sayup larut di dalamnya. Lalu seorang yang
berkostum legam berlalu di pandanganku. Dia seorang gadis, mengenakan jilbab
yang menjuntai sampai ujung-ujung kakinya hingga menyeret debu-debu jalanan.
Langkahnya teratur dan
bergerak dengan anggun. Dia tampil menawan dan cantik di mataku. Pesonanya
sebagai muslimah terpantul dari kesan dan pembawaannya.
Pikiranku menerawang,
kubandingkan dengan diriku. Dia suci, tak tersentuh hanya mata beningnya yang
bersosialisasi dengan keadaan yang sedemikian rupa buruknya. Tak seperti aku,
yang wujudnya dipenuhi dengan segala macam bentuk untuk semua kemungkinan yang
terburuk.
Kotoran, najis bahkan dosa
yang tak henti-hentinya merayapi jiwa dan raga. Aku berpikir sejenak dan
membawa lari diri ini dari waktu yang menjerumuskanku pada medan kemaksiatan.
Tiba-tiba muncul ketakutanku,
menguar dari sudut ruang hati yang kelam karena larut pada kesenangan duniawi.
Muncul kurang lebih ribuan pertanyaan yang membuat sesak pernapasanku.
Aku merasa bahwa aku
terdesak pada ujung-ujung keyakinan kepada Allah yang kian merosot dari
sebelumya. Aku kehilangan arah semenjak meninggalkan rumah untuk melanjutkan
kuliah di tempat perantauan yang jauh dari pantauan keluarga.
Aku melalaikan semua yang
biasa dikatakan ibuku sebagai kewajiban seorang muslimah. Sering enggan
kupasang telingaku untuk mendengarkan celotehan ceramah yang sering dikatakan
ibuku.
Aku pikir, dalam sejauh ini
aku masih dalam kondisi baik-baik saja meski tak taat pada kewajiban yang
seharusnya kuturuti perintahnya. Aku mengabaikan kebenaran yang sudah kupastikan
kebenarannya. Mungkin emosiku yang terlalu memusatkan pada jiwa yang kerasa
kepala sudah membuatku tebal muka untuk perkataan yang kuanggap kosong dan tak
ada mutunya jika dibandingkan dengan sejumlah persoalan dunia yang silih
berganti menjadi konflik dalam kesehariannku.
Aku bingung, kemana dan
dimana bisa kutemukan berbagai jawaban dari pertanyaanku. Semua terasa hambar,
tanpa tujuan yang pelan-pelan membawaku pada ketersesatan untuk mencari jati
diri yang hilang oleh sebab ego dan keserakahan.
Samar namun jelas ketika
kupahami apa yang sedang kudengarkan. Azan berkumandang dari kejauhan,
menyusupkan bait perbaitnya dalam suatu nada terindah. Kulangkahkan kakiku pada
jalanan yang berdebu, menyesap setiap anugerah yang baru kusadari setelah sadar
dari renunganku barusan.
Ketika tiba dihadapan sebuah
Masjid yang berdiri dengan gagahnya. Aku takluk, tertunduk pada pesona yang
dihasilkan pada suasana yang tercipta akibat bangunan yang membuatku takjub.
Aku basuh dengan wudhu yang
kumulai dengan niat yang berkobar dalam darahku. Nadiku bergetar seirama dengan
bahagia yang kurasa. Penat dan segala macamnya hilang seketika berganti dengan
momen-momen yang tak pernah kurasa sebelumnya. Aku memakaikan mukena, bersiap
menghadap Allah dan mempertanyakan segala bentuk pertanyaan dalam wujud
doa-doaku kepada-Nya.
Setelah mengucap salam dan
doa-doa yang hendak kusampaikan seorang wanita menghampiriku. Dia mengulurkan
tangannya lalu aku menyambutnya dengan uluran tanganku.
Salamnya menenangkan,
menimbulkan semacam perasaan nyaman dan tenang. Dia tersenyum, lalu berucap
dengan lembut.
“Assalamulaikum, tadi saya
sempat lihat ukhti sebelum datang kemari.”
“Waalaikumsalam, saya juga
lihat kok.” Jawabku seadanya.
“Nama saya Hanum, kalau
ukhti siapa?”
“Saya Intan.”
Kami larut dalam obrolan
yang panjang hingga kami tak sadar bahwa hari akan segera beranjak malam.
Banyak yang kuketahui darinya, tentang makna sebuah jilbab yang sekarang
kuputuskan untuk mengenakannya.
Banyak yang berubah, meski
belum tampak seperti Hanum. Namun proses membentukku untuk memaknai arti sebuah
kain yang menutupi auratku. Pelan-pelan kusadari bahwa aku semakin dekat dengan
pencipta, Allah SWT.
Ketenangan batin sekarang
nyata dalam kehidupanku bahwa aku telah memilih keputusan yang benar sebagai seorang
wanita. Semakin hari, aku semakin dekat dengan kumpulan orang-orang yang
berusaha untuk menjadi lebih baik dalam menempuh kehidupan dunia dan akherat.
Mereka hadir dalam
kekosongan jiwa yang menghampiri untuk membawaku jauh ke dalam kesenangan dunia
semata. Melalui perkumpulan Majelis Ta’lim, aku mendapatkan pencerahan jiwa.
Setiap masalah mampu kukomunikasikan dengan baik kepada mereka sehingga aku
bisa menemukan solusi yang tetap untuk menyelesaikannya.
Aku berhasil menemukan apa
yang kucari dan kuinginkan. Menemukan makna dibalik semua yang kupertanyakan
dari semua. Hanum menuntunku pelan-pelan, mengajariku untuk memahami berbagai
hal tentang kehidupan yang seimbang.
Kuakui aku salah,
mengedepankan persoalan dunia dibandingkan dengan apapun. Aku lega karena
beruntung bukan azab pedih yang kuterima untuk menyadarkanku dalam
keterpurukan.
Sebuah kejadian rumit nan
kompleks telah menuntunku untuk kembali pada kodratnya, menjadi wanita muslimah
seutuhnya. Mendengar perintah dan menjauh dari larangan-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar