Senin, 13 April 2015

Cerpen islam


Kayakinan Sejati
Jalanan berdebu, gersang akibat terik yang akhir-akhir ini melahap tiap-tiap rasa nyaman yang biasa aku rasa menjelang senja. Udara yang pengap memaksaku beradaptasi lebih dari biasanya akibat fenomena kabut asap yang merajalela di negeri yang tak pernah habis  masa kemaraunya.
Aku menghabiskan senja dengan memandangi kejenuhannya dari sebuah bangku taman yang biasa kudatangi saat hati ini sedang merasa gelisah. Aku duduk, memulai untuk mencerna apa yang selalu berputar dan bermaain-main didalam otakku yang begitu menggangu pikiranku.
Kadang terasa asing semuanya, kehidupan yang monoton dan itu-itu saja kerap menjadi gejolak dalam benakku.
Aku memandangi jalanan yang kerontang bersama angin yang sayup-sayup larut di dalamnya. Lalu seorang yang berkostum legam berlalu di pandanganku. Dia seorang gadis, mengenakan jilbab yang menjuntai sampai ujung-ujung kakinya hingga menyeret debu-debu jalanan.
Langkahnya teratur dan bergerak dengan anggun. Dia tampil menawan dan cantik di mataku. Pesonanya sebagai muslimah terpantul dari kesan dan pembawaannya.
Pikiranku menerawang, kubandingkan dengan diriku. Dia suci, tak tersentuh hanya mata beningnya yang bersosialisasi dengan keadaan yang sedemikian rupa buruknya. Tak seperti aku, yang wujudnya dipenuhi dengan segala macam bentuk untuk semua kemungkinan yang terburuk.
Kotoran, najis bahkan dosa yang tak henti-hentinya merayapi jiwa dan raga. Aku berpikir sejenak dan membawa lari diri ini dari waktu yang menjerumuskanku pada medan kemaksiatan.
Tiba-tiba muncul ketakutanku, menguar dari sudut ruang hati yang kelam karena larut pada kesenangan duniawi. Muncul kurang lebih ribuan pertanyaan yang membuat sesak pernapasanku.
Aku merasa bahwa aku terdesak pada ujung-ujung keyakinan kepada Allah yang kian merosot dari sebelumya. Aku kehilangan arah semenjak meninggalkan rumah untuk melanjutkan kuliah di tempat perantauan yang jauh dari pantauan keluarga.
Aku melalaikan semua yang biasa dikatakan ibuku sebagai kewajiban seorang muslimah. Sering enggan kupasang telingaku untuk mendengarkan celotehan ceramah yang sering dikatakan ibuku.
Aku pikir, dalam sejauh ini aku masih dalam kondisi baik-baik saja meski tak taat pada kewajiban yang seharusnya kuturuti perintahnya. Aku mengabaikan kebenaran yang sudah kupastikan kebenarannya. Mungkin emosiku yang terlalu memusatkan pada jiwa yang kerasa kepala sudah membuatku tebal muka untuk perkataan yang kuanggap kosong dan tak ada mutunya jika dibandingkan dengan sejumlah persoalan dunia yang silih berganti menjadi konflik dalam kesehariannku.
Aku bingung, kemana dan dimana bisa kutemukan berbagai jawaban dari pertanyaanku. Semua terasa hambar, tanpa tujuan yang pelan-pelan membawaku pada ketersesatan untuk mencari jati diri yang hilang oleh sebab ego dan keserakahan.
Samar namun jelas ketika kupahami apa yang sedang kudengarkan. Azan berkumandang dari kejauhan, menyusupkan bait perbaitnya dalam suatu nada terindah. Kulangkahkan kakiku pada jalanan yang berdebu, menyesap setiap anugerah yang baru kusadari setelah sadar dari renunganku barusan.
Ketika tiba dihadapan sebuah Masjid yang berdiri dengan gagahnya. Aku takluk, tertunduk pada pesona yang dihasilkan pada suasana yang tercipta akibat bangunan yang membuatku takjub.
Aku basuh dengan wudhu yang kumulai dengan niat yang berkobar dalam darahku. Nadiku bergetar seirama dengan bahagia yang kurasa. Penat dan segala macamnya hilang seketika berganti dengan momen-momen yang tak pernah kurasa sebelumnya. Aku memakaikan mukena, bersiap menghadap Allah dan mempertanyakan segala bentuk pertanyaan dalam wujud doa-doaku kepada-Nya.
Setelah mengucap salam dan doa-doa yang hendak kusampaikan seorang wanita menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya lalu aku menyambutnya dengan uluran tanganku.
Salamnya menenangkan, menimbulkan semacam perasaan nyaman dan tenang. Dia tersenyum, lalu berucap dengan lembut.
“Assalamulaikum, tadi saya sempat lihat ukhti sebelum datang kemari.”
“Waalaikumsalam, saya juga lihat kok.” Jawabku seadanya.
“Nama saya Hanum, kalau ukhti siapa?”
“Saya Intan.”
Kami larut dalam obrolan yang panjang hingga kami tak sadar bahwa hari akan segera beranjak malam. Banyak yang kuketahui darinya, tentang makna sebuah jilbab yang sekarang kuputuskan untuk mengenakannya.
Banyak yang berubah, meski belum tampak seperti Hanum. Namun proses membentukku untuk memaknai arti sebuah kain yang menutupi auratku. Pelan-pelan kusadari bahwa aku semakin dekat dengan pencipta, Allah SWT.
Ketenangan batin sekarang nyata dalam kehidupanku bahwa aku telah memilih keputusan yang benar sebagai seorang wanita. Semakin hari, aku semakin dekat dengan kumpulan orang-orang yang berusaha untuk menjadi lebih baik dalam menempuh kehidupan dunia dan akherat.
Mereka hadir dalam kekosongan jiwa yang menghampiri untuk membawaku jauh ke dalam kesenangan dunia semata. Melalui perkumpulan Majelis Ta’lim, aku mendapatkan pencerahan jiwa. Setiap masalah mampu kukomunikasikan dengan baik kepada mereka sehingga aku bisa menemukan solusi yang tetap untuk menyelesaikannya.
Aku berhasil menemukan apa yang kucari dan kuinginkan. Menemukan makna dibalik semua yang kupertanyakan dari semua. Hanum menuntunku pelan-pelan, mengajariku untuk memahami berbagai hal tentang kehidupan yang seimbang.
Kuakui aku salah, mengedepankan persoalan dunia dibandingkan dengan apapun. Aku lega karena beruntung bukan azab pedih yang kuterima untuk menyadarkanku dalam keterpurukan.
Sebuah kejadian rumit nan kompleks telah menuntunku untuk kembali pada kodratnya, menjadi wanita muslimah seutuhnya. Mendengar perintah dan menjauh dari larangan-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar